Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia
sebagai manusia (bukan sebagai dosen, fransiskan, tukang becak). Bidang
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya
sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan
betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi
baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu
dan terbatas.
Hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas
oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan
umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan untuk dilanggar.
Orang yang melanggar hukum pasti dikenai hukuman sebagai sanksi.
Terdapat hubungan erat antara moral dan hukum;
keduanya saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia.
Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai
oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum adalah kosong. Kualitas hukum
sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu, hukum harus
selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral
tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral
mencapai tahap cukup matang.
Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan
mengawang-awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat dalam bentuk salah satunya adalah hukum. Dengan demikian,
hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. “Menghormati milik
orang lain” misalnya merupakan prinsip moral yang penting. Ini berarti
bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin, melainkan
juga milik dalam bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang
ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk
dagang dsb).
Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga
bila tidak ada dasar hukum. Tetapi justru supaya prinsip etis ini
berakar lebih kuat dalam masyarakat, kita mengadakan persetujuan hukum
tentang hak cipta, pada taraf internasional, seperti konvensi Bern
(1889).
Namun perbedaan di antara keduanya perlu tetap dipertahankan
dan tidak semua norma moral dapat serta perlu dijadikan norma hukum.
Kendati pemenuhan tuntutan moral mengandaikan pemenuhan tuntutan hukum,
keduanya tidak dapat disamakan begitu saja. Kenyataan yang paling jelas
membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik antara keduanya.
Di bawah ini akan ditunjukkan beberapa poin penting perihal perbedaan antara moral dan hukum.
- Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara kurang lebih sistematis disusun dalam kitab undang-undang. Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif. Sebaliknya norma moral bersifat lebih subjef dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang apa yang dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja di bidang hukum pun terdapat banyak diskusi dan ketidakpastian tetapi di bidang moral ketidakpastian ini lebih besar karena tidak ada pegangan tertulis.
- Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara moralitas dan legalitas (bdk Kant). Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum. Sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Orang yang hanya secara lahiriah memenuhi norma-norma moral berlaku “legalistis”. Sebab, legalisme adalah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
- Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan; orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
- Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara seupaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.
Berhadapan dengan latar belakang pemikiran di atas kita lantas bertanya
apakah karena persoalan moral dan hukum yang begitu erat kaitannya
sehingga kasus Soeharto tidak bisa tuntas di mejahijau. Bapak
Pembangunan di satu sisi (persoalan moral) dan koruptor (yang harus
dipecahkan secara hukum) membingungkan seluruh warga bangsa ini untuk
menentukan Soeharto sebagai penjahat atau orang baik? Sulit memang jika
ini menjadi dilema politik bangsa ini.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar