Hedonisme bukan Budaya, tapi runtuhnya ketaqwaan dan kodrat manusia
Gaya hidup hedonis
adalah suatu pola hidup yang mencari kesenangan seperti, banyak
menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang membeli
barang-barang yang berharga mahal. Perilaku hedonisme saat ini sudah sangat
melekat pada sebagian masyarakat Indonesia terutama masyarakat yang tinggal
dikota-kota besar. Dimana perilaku hidup seperti ini bersifat negative karena
hanya mementingkan kenikmatan, kesengan dan kepuasaan yang semuanya
bersifat duniawi.
Wajar saja memang
ketika manusia hidup untuk mencari kesenangan dan kepuasan, karena itu
merupakan dasar sifat manusia. Contohnya pada saat ini kemajuan teknologi
informasi telah menawarkan berbagai macam gaya hidup kepada masyarakat terutama
kepada generasi muda/remaja. Para remaja berlomba-lomba untuk mengikuti tren
gaya hidup untuk mencapai kepuasaan pribadi yang kadang-kadang menjerumus
kepada hal-hal yang bersifat negatif.Budaya hedonisme telah mendorong banyak
orang memiliki suatu barang atau mencari kepuasaan dimana suatu barang dan
kepuasaan tersebut bukanlah keperluan utama dalam kehidupan. Selain itu budaya
hedonisme hanyalah membuat kesenagan individu, dalam mengahadapi budaya
hedonisme yang sangat banya membawa efek atau pengaruh negatif dalam kehidupan
bermasyarakat.
Memilih gaya hidup/budaya
hedonis sesungguhnya tidak akan pernah membawa kebahagiaan dan kepuasan dalam
hidup. Bagi belum terlanjur atau tidak perna terpengaruh gaya/budaya hidup
seperti ini. Segeralah ubah perilaku tersebut, karena sesungguhnya kebahagiaan
itu sebenarnay berada pada hati dan jiwa disetiap individu, saatnya bagi kita
menumbuhkan akhlak dan kembali kepada jalan Illahi , tumbuhkan juga rasa
kepedulian pada sesame dan juga buanglah sifat mementingkan kepentingan
individu.
Karakteristik Hedonisme
Karakteristik hedonisme
adalah kebendaan dengan ukuran fisik harta, atau apa saja yang tampak, yang
dapat dinilai dengan uang. Jadi disini orang yang sudah senang karena harta
bendanya yang banyak, sudah sama artinya dengan orang yang bahagia atau dengan
kata lain : Bahagia sama dengan Kesenangan. Di sini hedonisme dalam
pelaksanaannya mempunyai karakteristik :
1. Hedonisme Egoistis
Yaitu hedonisme yang
bertujuan untuk mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang
dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan mendalam. Contohnya:
makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan jenisnya banyak, disediakan waktu yang
cukup lama untuk menikmati semuanya, seperti pada perjamuan makan ala Romawi.
Bila perut sudah penuh, maka disediakan sebuah alat untuk menggitit
kerongkongan, dengan demikian isi perut dapat dimuntahkan keluar, kemudian
dapat diisi kembali jenis makanan yang lain, sampai puas.
2. Hedonisme
Universal
Yaitu suatu aliran
hedonisme yang mirip dengan ulitarisanisme yang artinya kesenangan maksimal
bagi semua, bagi banyak orang. Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa
bersama-sama, waktunya semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen,
ataupun kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh semua
orang. Sebenarnya tidak bisa disangkal lagi bahwa hedonisme banyak jenisnya,
secara garis besarnya kesenangan dapat dibagi atas dua golongan :
(a). Kesenangan
Fisik
Yang pokok disini ialah
kesenangan yang dapat dirasakan dinikmati oleh batang tubuh/raga. Sumber dan
jenisnya dari makan minum, yang menerima kesenangan itu dari tenggorokkan
sampai keperut. Hasil kesenangan itu biasa dinilai dengan sebutan nikmat, enak,
sedap, nyaman, delicious, dan sebagainya.
Bila sumbernya hubungan
badani (coitus), maka yang menerima kesenangan itu adalah alat kelamin, seluruh
badan jasmani, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: nikmat,
enak, sedap dan sebagainya. Bila sumbernya sebagai hasil kerja, misalnya
pekerjaan tangan, atau sesuatu yang menggunakan tenaga seperti pekerjaan di
pelabuhan, di kebun, di pertambangan, dan sebagainya, maka kesenangan itu
dinilai dengan sebutan: memuaskan, beres, selesai, upahnya pantas dan
sebagainya.
(b). Kesenangan
Psychis/Rohani.
Bila sumbernya itu
sebagai hasil seni, apakah bentuknya itu berupa puisi atau prosa, lukisan atau
patung, atau serangkaian lagu-lagu merdu/musik, maka hasil kesenangan itu
dinilai dengan sebutan: menarik, hebat, indah, memuaskan mengasikkan, dan
sebagainya. Penilaian ini diberikan oleh rasa, emosi, dan getaran jiwa. Bila
sumbernya itu berasal dari hasil pikir, yang merasakan kesenangan itu adalah
otak, pikir, dimana hasil kesenangan itu dinilai dengan sebutan: ilmiah,
merangsang otak, hebat, pemikiran yang mendalam, intellegensi yang tinggi,
mengagumkan dan sebagainya. Bila sumbernya adalah kepercayaan yang menikmati
kesenangan itu adalah jiwa, perasaan, rohani, hati, dimana kesenangan itu
dinilai dengan sebutan: menentramkan jiwa, meresapkan rasa iman, rasa takwa,
syahdu, suci, yakin dan sebagainya.
Karakteristik menurut
Pospoprodijo (1999:71) Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan untuk hidup
saja, yakni kesenangan yang kita dapat dengan perantara kemampuan-kemampuan
kita dari subyek-subyek yang mengelilingi kita di dunia ini.Hedonisme di Kalangan Remaja
Generasi yang paling
tidak aman terhadap sebutan hedonis adalah remaja.Paham ini mulai merasuki
kehidupan remaja. Remaja sangat antusias terhadap adanya hal yang baru. Gaya
hidup hedonis sangat menarik bagi mereka. Daya pikatnya sangat luar biasa,
sehingga dalam waktu singkat munculah fenomena baru akibat paham ini. Fenomena
yang muncul, ada kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan
serbakecukupan tanpa harus bekerja keras. Titel “remaja yang gaul dan funky ”
baru melekat bila mampu memenuhi standar tren saat ini.Yaitu minimal harus
mempunyai handphone, lalu baju serta dandanan yang selalu mengikuti mode.
Beruntung bagi mereka yang termasuk dalam golongan berduit, sehingga dapat
memenuhi semua tuntutan kriteria tersebut. Akan tetapi bagi yang tidak mampu
dan ingin cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang akan diambil. Tidaklah
mengherankan, jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di sekitar
kehidupan kampus. Misalnya adanya “ayam kampus” ( suatu pelacuran terselubung
yang dilakukan oknum mahasiswi), karena profesi ini dianggap paling enak dan
gampang menghasilkan uang untuk memenuhi syarat remaja gaul dan funky. Contoh
lain yang sederhana adalah misal ada remaja yang malas belajar tapi dia ingin
memperoleh nilai yang baik dengan mencontek.Itu merupakan salah satu contoh
kecil dari sikap Hedonisme.
Kasus yang terjadi
seperti hubungan seks yang sudah dianggap sebagai hal yang biasa saat ini,
kasus tersebut merupakan salah satu fenomena hedonisme generasi muda dari
sekian banyak yang lain yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Keinginan
yang berlebihan terhadap modernitas ini sepeti ingin memiliki barang-barang
yang mewah, kehidupan dunia modern yang setiap sabtu malam datang untuk
melaksanakan ibadah rutinan di bar-bar, diskotik dan sebagainya., itu dijadikan
sebagai suatu kebutuhan yang dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus
dipenuhi dan kalau tidak terpenuhi maka mendapatkan dosa karena dianggap masih
menjadi manusia tradisional atau mahasiswa tradisional yang kerjanya hanya
belajar, membaca, diskusi, kajian dan sebagainya.
Hedonisme di Kalangan Remaja Dalam Ilmu Sosial.
Hedonisme terjadi
karena adanya perubahan perilaku pada masyarakat yang hanya menghendaki
kesenangan.Perilaku tersebut lama kelamaan mengakar dalam kehidupan masyarakat
termasuk para remaja yang pada akhirnya menjadi seperti sebuah budaya bagi
mereka tingkat pengetahuan dan pendidikan juga sangat berpengaruh pada
pembentukan sikap mental para remaja.Tapi sayangnya kadang semua hal itu
terkalahkan dengan rendahnya cara berfikir mereka dalam menyikapi berbagai
persoalan. Banyak diantara para remaja yang melarikan diri dari masalah dengan
berhura-hura. Kebiasaan seperti inilah yang kemudian menjadi kebudayaan di
kalangan remaja.
Dalam identifikasi
mentalitas budaya yang dikemukakan Sorokin, sikap hedonisme yang telah menjadi
budaya hedon di kalangan remaja dimasukkan dalam kebudayaan indrawi. Yaitu
kebudayaan indrawi pasif dan kebudayaan indrawi sinis. Kebudayaan indrawi pasif
yang meliputi hasrat menikmati kesenangan indrawi setinggi-tingginya
(“eksplorasi parasit”, dengan motto makan minum dan kawinlah sebab besuk kita
akan mati).Pola pikir seperti itulah yang mengajak para remaja
hanya bersenang-senang selagi ada kesempatan,seakan-akan hidup
hanya”mampir”karena itulah mereka hanya mengejar kesenangan,padahal masih
banyak hal yang bernilai dalam hidup ini selain makan minum dan
bersenang-senang saja.
Hedonisme Dalam Pandangan Islam
Islam adalah ajaran
yang sempurna, sebuah sistem dan cara pandang hidup yang lengkap, praktis, dan
mudah. Islam memberikan tuntunan terkait hal yang bersifat individu dan yang
menyangkut masalah kemasyarakatan. Semua itu telah diatur oleh Islam. Allah
berfirman, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah
Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (al-Maidah: 3). Islam mengajak manusia ke alam nan
bercahaya, terang benderang. Islam menarik manusia dari kegelapan dan
mengarahkannya menuju kehidupan yang penuh makna. Islam membebaskan manusia
dari kehampaan hidup, kekeringan jiwa, dan kehilangan arah kendali hidup.
Melalui Islam, manusia menjadi tercerahkan. Kebodohan yang tergumpal di dada
manusia terbuncah, memberai lalu sirna. Islam dengan sinarnya yang kemilau
memupus kebodohan yang meliputi umat. Karena itu, berbahagialah manusia yang
telah diliputi oleh petunjuk, berpegang teguh dengan Islam dan menepis setiap
nilai jahiliah.
Adapun orang-orang yang
berpaling dan tidak mau peduli terhadap kebenaran Islam, sungguh mereka adalah
orang-orang yang merugi. Hawa nafsu menjadi landasan pacu amalnya. Perilakunya
senantiasa diwarnai oleh noda hitam pekat, tidak merujuk kepada Islam, dan
lebih menyukai bersandar kepada sistem nilai kekufuran.“Barang siapa yang
mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima (amal perbuatannya)
darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85). Lantaran
keadaan mereka yang gersang dari ajaran Islam, tanpa pemahaman dan amal yang
lurus dan benar, mereka lebih condong bergelut dengan beragam maksiat.
Kehidupan dunia telah banyak memerdayakannya. Mereka berlomba mereguk materi
sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan nilai kebenaran walaupun semua itu semu,
tidak terkecuali dari kalangan kaum muda Islam. Dengan slogan kata ‘modern’,
mereka bergumul meraup dunia. Mereka meninggalkan batas-batas dan menerobos
rambu-rambu agama. Halal-haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam bersikap.
Bagai dikebiri, mereka terjerat siasat Yahudi dan Nasrani. Tidak ada lagi
kecemburuan terhadap Islam. Ghirah untuk menampilkan diri sebagai sosok muslim
taat pun mandul. Mata, hati, dan pendengaran sudah tidak bisa lagi membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak ubahnya bagai binatang
ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Allah
menggambarkan fenomena ini dalam ayat-Nya,
“Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka
mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah).
Mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.” (al-A’raf: 179).
Karena keadaan hati
yang buta dan tuli, banyak manusia menolak kebenaran. Bahkan, tidak sedikit
yang melontarkan caci maki terhadap Islam dan kaum muslimin yang taat kepada
ajarannya. Bagi mereka, Islam dianggap sebagai ajaran yang kolot, kuno, dan
ortodoks. Islam hanya akan mengekang kebebasan manusia dalam berbuat,
berekspresi, dan berperilaku. Orang-orang yang setia dan mengagungkan Islam
mereka tuduh sebagai manusia picik. Singkat kata, Islam hanya akan memberangus
apa yang diinginkannya dan hanya akan menyulitkan manusia. Islam hanya akan
mempersempit ruang gerak kehidupannya, memasung kebebasannya, dan mengebiri
pergaulannya. Padahal Allah berfirman, “Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(al-Hajj: 78). “Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar
kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada
Allah).” (Thaha: 1—3).
Celoteh mereka
hakikatnya menunjukkan bahwa mereka tidak memahami Islam secara baik dan benar.
Bisa jadi, hal itu karena kedengkian yang ada pada hati mereka.
Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun, yang jelas sikap apriori
mereka terhadap Islam sangat merugikan. Celah ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh
Islam dan kaum muslimin. Upaya mereka untuk memadamkan cahaya Islam seakan
mendapat angin segar. Inilah gerakan yang disinyalir melalui firman-Nya, “Mereka
ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir
benci.” (ash-Shaf: 8).
Akibat sikap buruk
terhadap Islam, mereka pun mematri aturan-aturan hidup yang bersumber dari hawa
nafsu. Mereka bangga melaksanakannya meskipun kemudian menimbulkan kerusakan di
semua lini kehidupan. Dalam pergaulan antarjenis manusia, kerusakan kronis
telah begitu kuat mencengkeram. Kebebasan seksual, perilaku kerahiban (hidup
membujang), homoseks, lesbian, dan perilaku penyimpangan seksual lainnya telah
dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hubungan yang bercampur baur antara pria
dan wanita yang bukan mahram tidak lagi dianggap sebagai dosa yang harus
dijauhi.
Anehnya, tidak sedikit
dari kalangan umat Islam yang meniru dan bangga dengan hal itu. Tanpa rasa
takut kepada Allah, tanpa malu, dan tanpa risih mereka tiru mentah-mentah
perbuatan yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata,“Sesungguhnya dari
apa yang telah manusia peroleh dari perkataan kenabian yang pertama, ‘Jika
engkau tak memiliki rasa malu, berbuatlah sekehendakmu’.” (HR. al-Bukhari no.
6120 dari sahabat Abu Mas’ud z).
Menjelaskan hadits di
atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizahullah berkata, “Malu adalah perangai
yang agung. Sikap malu menyebabkan seseorang tercegah dari sesuatu yang akan
mengantarkan kepada hal yang tak patut, seperti perbuatan-perbuatan yang rendah
dan hina, serta akhlak buruk. Oleh karena itu, sikap malu ini termasuk dari
cabang keimanan.” (al-Minhatu ar-Rabbaniyyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah,
hlm. 181).
Jika malu sudah tidak
lagi ada di dada, sikap tidak nyaman lantaran melanggar ketentuan Allah
dan Rasul-Nya menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada lagi kata risih.
Jangankan malu, risih saja tidak. Dengan berbuat seperti itu, seakan-akan
mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menerapkan sistem modern.
Kalau tidak berbuat dan menerapkan hal demikian, bakal merugikan kehidupannya,
masa depannya, dan segenap usahanya. Apa yang dilakukannya seakan-akan
merupakan langkah yang baik, selaras dengan prinsip hidup modern, dan sesuai
dengan kondisi masyarakat. Fenomena ini digambarkan oleh Allah dalam
firman-Nya, Katakanlah, “Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104).
“Apakah hukum jahiliah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50). Padahal, apa yang dibanggakannya
bisa menjadi sumber bencana. Prinsip-prinsip yang menggayut dalam benaknya
adalah pemantik petaka dan perantara turunnya azab Allah. Firman-Nya, “Hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63).
Maka dari itu, yang
sekiranya hal itu merupakan perbuatan yang dilarang, hendaknya dijauhi.
Sekiranya itu merupakan perintah untuk dipraktikkan, maka tunaikanlah.
Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Apa yang telah kularang padamu darinya,
tinggalkanlah (jauhilah). Apa yang telah kuperintahkan dengannya, tunaikanlah
semampumu.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari sahabat Abu
Hurairah). Meskipun demikian, masih ada sekelompok manusia yang
menyandarkan falsafah hidupnya hanya untuk meraup kesenangan. Ia tidak peduli
kesenangan yang didapat dia tempuh dengan cara apa. Baginya, kesenangan adalah
satu-satunya kebaikan. Prinsip hidup “asal senang” ini adalah prinsip hidup
kaum hedonis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan
sebagai pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah
tujuan utama dalam hidup. Doktrin hedonisme (asal katanya adalah hedone, bahasa
Yunani yang berarti kesenangan) digulirkan oleh salah seorang murid Socrates
yang bernama Aristippus.
Filsafat hedonisme
mengajarkan prinsip “Apa yang dilakukan dalam rangka meraup kesenangan atau
menghindari penderitaan. Kesenangan adalah satu-satunya kebaikan, dan mencapai
puncak kesenangan adalah satu-satunya kebajikan.” (Sejarah Pemahaman Psikologi
dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Dr. C. George Boeree, hlm. 55).
Pemahaman ini diusung
pula oleh Sigmund Freud, seorang keturunan Yahudi yang melontarkan ide
Principle of Pleasure (Prinsip-Prinsip Kenikmatan). Freud melemparkan ide bahwa
segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan bermuara pada soal ekspresi dan
nafsu seks. Dengan demikian, atas dasar kenikmatan dan kesenangan ini, tanpa
memerhatikan norma yang ada, serbuan pemahaman yang bertitik tekan pada
kesenangan dan kenikmatan hidup semata menyeruak masuk ke benak sebagian
manusia. Tidak mengherankan apabila kemudian di tengah masyarakat muncul
iklan-iklan yang diwarnai oleh citra seksual. Begitu pula di sisi kehidupan
media massa lainnya. Berita dan cerita yang beraroma nafsu birahi cenderung
meningkat dan digandrungi. Sadar atau tidak, gaya hidup hedonis telah
merembes dan menjadi bagian hidup sebagian masyarakat.
Gaya hidup hedonis membentuk
sikap mental manusia yang rapuh, mudah putus asa, cenderung tidak mau bersusah
payah, selalu ingin mengambil jalan pintas, tidak hidup prihatin, dan bekerja
keras. Seseorang yang terjebak gaya hidup hedonis akan mengambil bagian yang
menyenangkan saja. Adapun hal yang bakal memayahkannya, dia hindari. Dia tidak
mau peduli bagaimana orang tuanya bekerja keras siang dan malam, sementara itu
dirinya hanya bisa nongkrong di mal, berkumpul dengan kalangan berduit, selalu
memilih barang berharga mahal meskipun menggunakan barang yang relatif murah
sebenarnya bisa. Apa yang melekat pada dirinya harus selalu terkesan mewah dan
elegan.
Gaya hidup hedonis
identik dengan gaya hidup glamor, hura-hura, foya-foya, dan bersenang-senang.
Gaya hidup hedonis akan mengantarkan seseorang pada sikap mental yang tidak mau
peduli dan peka melihat keberagaman hidup, tidak memiliki sensitivitas terhadap
kesulitan hidup orang lain. Singkat kata, gaya hidup hedonis melahirkan
manusia-manusia yang tumpul sikap sosialnya, melahirkan jenis manusia asosial.
Padahal hidup di dunia ini hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Adapun
kampung akhirat adalah hal yang lebih utama. Allah berfirman, “Dan tiadalah
kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?” (al-An’am: 32).
Rasulullah saw.
mengibaratkan kehidupan dunia bagai seorang pengelana yang beristirahat di
bawah pohon. Kala lelah telah sirna dari tubuhnya, pengelana itu pun
melanjutkan perjalanannya. Pohon tempatnya berteduh dia tinggalkan. Itulah
dunia beserta kehidupan di dalamnya, sekadar tempat rehat sesaat. Nabi saw.
bersabda, “Apalah arti dunia bagiku. Tiadalah (bagi) aku dalam perkara dunia
melainkan seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, lalu
setelah itu meninggalkan (pohon) tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu
Majah, dan al-Hakim. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan
hadits ini sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu no. 5669).
Dalam sebuah hadits dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi disebutkan,
“Seorang lelaki datang kepada Nabi . Laki-laki itu berkata kepada Nabi saw,
‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang apabila aku
mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku.’ Jawab
Rasulullah saw, ‘Zuhudlah dalam urusan dunia, Allah akan mencintaimu dan
zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan
mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah no. 4102, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani t. Lihat ash-Shahihah no. 944).
Sikap zuhud bisa
dilakukan oleh seorang hamba yang fakir ataupun yang memiliki harta kekayaan
yang melimpah. Bagi orang fakir, hendaknya dia berzuhud dengan tetap
bersemangat mencurahkan segenap kemampuannya bagi kehidupan akhiratnya. Adapun
bagi yang diberi limpahan harta kekayaan, dia berzuhud dengan segenap kemampuan
dari hartanya guna kepentingan Islam dan kaum muslimin. Harta yang disalurkan
untuk hal itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya.
(asy-Syaikh Muhammad al-Imam, Tahdzirul Basyar, hlm. 95).
Menyikapi kehidupan
dunia dengan bimbingan syariat, niscaya akan menyelamatkan hamba dari tekanan
hedonisme. Seseorang tidak akan diperbudak oleh dunia, tidak pula silau
oleh kemilau dunia yang menipu. Dunia hanyalah tempat singgah sementara,
sedangkan kampung akhirat adalah tempat tujuan yang hakiki, tujuan nan
abadi. “Adapun kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(al-A’la: 17). Saat seseorang meninggalkan dunia fana ini menuju kampung
akhirat, segenap harta kekayaan yang telah dikumpulkan selama hidupnya tidak
akan dibawanya, kecuali kain kafan yang menyelimutinya. Hal ini dinyatakan oleh
Rasulullah, “Orang yang meninggal dunia itu diikuti oleh tiga hal: keluarganya,
hartanya, dan amalnya. Yang dua akan kembali, adapun yang satu tetap tinggal.
Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Adapun yang tetap (bersamanya)
adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 5). Begitulah dunia,
dia tidak akan selalu bersama pemiliknya. Dia akan terpisah, meninggalkan
pemiliknya. Kaum hedonis amat sukar menerima kenyataan ini.
Dampak Hedonisme Masa Kini
Arus globalisasi turut
serta mendukung maraknya budaya hedonisme yang berkembang pesat dilingkungan
masyarakat Indonesia. Perkembangan paling pesat terlihat dari kalangan
mahasiswa, yang diposisikan sebagai golongan intelektual muda. Hal tersebut
yang menyebabkan terkikisnya budaya asli Indonesia dari waktu ke waktu.
Sesungguhnya keinginan untuk hidup senang dan mewah adalah sebagian dari naluri
semua manusia, tetapi hal tersebut tidak boleh dibiarkan membudaya dalam
masyarakat karena hal itu akan banyak menimbulkan dampak negatif. Sebenarnya
kita boleh gaul tapi jangan over, senang-senang juga tidak dilarang apalagi
bagi para pemuda pemudi tapi kesenangan itu jangan dilakukan setiap saat.
Hedonisme rawan menimbulkan sifat individualisme karena manusia cenderung
akan bekerja keras untuk memenuhi kesenangannya tanpa mempedulikan orang lain
di sekitarnya.
Adapaun dampak negatif
Hedonisme antara lain :
- Hedonisme membuat orang lupa akan tanggungjawabnya karena apa yang dia lakukan semata-mata untuk mencari kesenangan diri. Jika hal-hal tersebut mampu menggeser budaya bangsa Indonesia maka sedikit demi sedikit Indonesia akan kehilangan jati diri yang sesungguhnya.
- Manusia akan memprioritaskan kesenangan diri sendiri dibanding memikirkan orang lain, sehingga menyebabkan hilangnya rasa persaudaraa, cinta kasih dan kesetiakawanan sosial.
- Sikap egoisme akan semakin membudaya, inilah bukti hedonisme yang menjadi impian kebanyakan anak muda.
- Semakin berkembangnya sistem kapitalis-sekuler karena sistem inilah yang menyebabkan hedonisme berkembang secara pesat.
- Merusak suatu sistem nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat sekarang, mulai sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan sampai sistem pemerintahan.
- Meningkatnya angka kriminalitas. Tindak kriminal yang akhir-akhir ini marak terjadi kebanyakan dilatar belakangi oleh sifat hedonisme manusia semata.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar